Achmad Bastari Semendawai
Fakultas Ekonomika Bisnis
Universitas Gadjah Mada
            Indonesia swasembada beras. Kalimat yang pada beberapa tahun terakhir kerap didengungkan tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga masyarakat luas yang setiap hari masih setia mengonsumsi beras – yang diolah menjadi nasi – sebagai bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan primer manusia sehari-hari, kebutuhan pangan. Indonesia mencapai swasembada beras ibaratnya sudah bagaikan mimpi di siang bolong bagi masyarakat luas. Bagaimana tidak, setiap tahun media massa –baik elektronik maupun cetak – lebih sering memberitakan langkah pemerintah untuk mengimpor beras dari negara tetangga daripada mengisahkan keberhasilan panen raya padi petani kita telah mencukupi kebutuhan nasional selama setahun.
Keinginan untuk mencapai swasembada beras bukanlah semata-mata untuk menciptakan momen monumental kabinet yang sedang berkuasa pada saat ini tetapi memang ada dorongan dari hasil kesepakatan internasional yang Indonesia juga termasuk salah satu negara yang ikut menyetujui butir-butir kesepakatan pada saat itu, MDG’S. The Millenium Development Goals (MDG’s) adalah sebuah kesepakatan antar negara anggota PBB – yang pada saat itu berjumlah 189 negara, sekarang 193[1]- untuk secara bersama-sama berkomitmen penuh membantu terciptanya keadaan dunia yang sesuai dengan 8 butir kesepakatan itu pada tahun 2015. Poin pertama dari 8 butir kesepakatan itu adalah untuk mengentas kemiskinan dan memberantas kelaparan (to eradicate extreme poverty and hunger). Secara spesifik, poin pertama dibagi lagi menjadi 3 bagian, pada bagian C ditegaskan bahwa negara-negara anggota mengurangi proporsi hingga setengah bagian orang-orang yang menderita kelaparan dalam periode tahun 1990-2015(Halve, between 1990-2015, the proportion of people who suffer from hunger)[2].
Memenuhi pencapaian 8 butir MDG’s bukanlah sebuah usaha yang mudah bagi negara sebesar Republik Indonesia dengan proyeksi jumlah penduduk sebesar 250jt (BPS) pada tahun 2015 tetapi masih ada langkah-langkah – setidaknya untuk mendekati target- yang bisa kita dilakukan. Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah antara lain sapta usaha tani dan kebijakan-kebijakan pro sektor pertanian lainnya yang diharapkan mampu mendorong produksi padi nasional. Namun, selain aspek teknis tersebut, ada aspek lain yang ikut mempengaruhi keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan swasembada beras, aspek sosial budaya. Aspek ini sering terlupakan dalam proses menentukan sebuah kebijakan publik. Pada sektor pangan, misalnya aspek sosial budaya yang mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Ada sebuah anggapan yang cukup populer diantara masyarakat bahwa seseorang telah dinyatakan selesai makan bila sudah menyantap nasi.


Belum makan bila belum makan nasi
Ungkapan yang akrab di telinga masyarakat Indonesia dalam percakapan gaya warung sehari-hari. Masyarakat Indonesia telah sejak lama menjadikan nasi sebagai bahan makanan pokok untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Ibaratnya saat perut lapar, kita belum sah untuk dikatakan sudah makan bila belum memakan nasi, entah kita telah makan berapa porsi lauk pauk atau buah hingga merasa agak kenyang. Inilah kenyataan yang perlu kita sadari, kita sudah sangat tergantung dengan komoditas pangan yang satu ini. Kita memasak berbagai jenis masakan dengan cita rasa apapun, nasi harus selalu tersedia menemani lauk pauk di meja makan.
Bila mau merunut dalam sejarah bangsa ini, sulit rasanya untuk menemukan fakta sejarah yang mewakili sejak kapan bangsa ini sangat tergantung dengan beras.  Bahkan mungkin sebelum Negara Indonesia lahir melalui proses Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengenal beras dengan akrab. Maklum, meskipun Negara Indonesia lebih dikenal sebagai negara agraris, pada kenyataannya nenek moyang kita sudah terbiasa mengarungi lautan yang menjadi pemisah antar pulau atau bahkan – sekarang – antar negara, apakah itu untuk berdagang atau sekedar untuk tujuan mengekplorasi. Sehingga ada dugaan, beras telah menjadi komoditas yang diperdagangkan pada masa itu dan telah dikenal luas oleh masyarakat.
Merunut pada fakta sosial budaya itu, predikat Indonesia sebagai negara agraris memang semakin melekat menjadi identitas bangsa. Meskipun, pada kenyataanya Negara Indonesia masih sering mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan permintaan beras domestik. Suatu ironi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Namun demikian, bila kita lebih teliti mencermati sejarah perkembangan negara ini, ada sebuah momen ketika  Negara Indonesia memang layak disebut negara agraris, yaitu ketika Negara Indonesia  – yang diwakili oleh Presiden Soeharto pada masa itu – menerima penghargaan dari FAO (Food and Agriculture Organization) – nama penghargaan itu adalah From Rice Importer to Self Suffiency    atas keberhasilan Negara Indonesia mencapai swasembada beras 22 Juli 1986[3].Bahkan pada saat itu, Negara Indonesia menyampaikan bantuan pangan sebesar 100.150 ton beras yang diserahkan dalam bentuk uang senilai 17,5 milyar rupiah untuk membantu rakyat Afrika yang sedang dilanda kekurangan pangan.
Swasembada beras bukanlah sesuatu yang mustahil untuk kita raih kembali. Sebelum kita menentukan langkah apa yang akan diambil untuk mencapai tujuan tersebut, seyogyanya kita mengidentifikasi terlebih dahulu permasalahan-permasalahan yang melingkupi komoditas pangan yang satu ini.

Tingkat Harga
Beras adalah produk olahan akhir dari tanaman pangan, padi. Beras yang tersedia di pasar merupakan persediaan yang di-supply oleh pedagang beras, ada yang pedagang besar – berdasarkan pada modalnya – maupun pedagang kecil. Pedagang beras jumlahnya banyak dan konsumen beras adalah masyarakat itu sendiri. Sehingga harga beras yang terbentuk merupakan hasil dari mekanisme pasar, harga yang ditetapkan dari interaksi antara penawaran dan permintaan beras. Bila dilihat dari karakteristiknya – beras sebagai bahan pangan pokok – sifat permintaan beras adalah inelastis. Artinya, masyarakat sebagai konsumen akan cenderung membeli beras berapapun harganya. Di sisi lain, meskipun harga beras turun drastis, masyarakat tidak akan membeli  – kecuali ada motif lain yang melatarbelakangi, misalnya membeli beras saat harga murah untuk ditimbun, kemudian dijual kembali saat harga pasar telah normal kembali atau bahkan lebih tinggi – beras dalam jumlah melebihi kapasitas konsumsi mereka sehari-hari.
Dalam beberapa waktu terakhir, tingkat harga beras cenderung meningkat. Peningkatan ini bersifat dinamis menyesuaikan dengan musim panen raya – dalam jangka pendek ada saatnya harga beras menurun– tetapi dalam jangka panjang tren harga beras cenderung terus meningkat. Fenomena ini bisa dipahami sebagai akibat dari supply beras yang tidak mampu mengimbangi jumlah permintaan beras yang meningkat dengan pesat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Namun demikian, tren harga beras yang terus meningkat ini sepertinya tidak akan dirasakan oleh petani padi itu sendiri. Karena petani menjual produknya dalam bentuk gabah, bisa dalam keadaan basah – kadar air dalam gabah cukup tinggi – atau dalam bentuk gabah kering. Petani yang sanggup menjual padi yang sudah diolah menjadi beras adalah tipe petani yang memiliki fasilitas penggilingan padi sendiri, artinya mereka termasuk petani yang bermodal besar. Pada kenyataanya, mayoritas petani di Indonesia adalah petani gurem. Istilah petani gurem menggambarkan karakteristik petani yang memiliki lahan sawah kurang dari 2 hektar, artinya kepemilikan modalnya relatif kecil. Seorang pakar Agronomi dari IPB, Rudi Purwanto, mengatakan bahwa petani Indonesia rata-rata hanya memiliki lahan 0,3 hektar [4].
Sebagai contoh, taksiran harga beras yang dijual di pasar berkisar antar 9000 – 15.000 rupiah per kg. Sedangkan harga gabah – sesuai dengan Inpres 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras – sebesar Rp 3.700,00 untuk gabah kering panen (GKP) dengan kadar air maksimum 25% dan kadar hampa maksimum 10% serta Rp 4.600,00 untuk gabah kering giling (GKG) dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kotoran maksimum 3%[5]. Sesuai dengan ilustrasi harga beras di pasar dengan harga gabah yang diterima petani itu, selisih harga antara gabah dengan beras berkisar antara 4.400 (GKG) – 5.300 (GKP). Itu artinya, ada peningkatan harga kurang lebih sebesar 95% (GKG) – 143% yang diterima oleh kelompok selain petani. Dugaan sementara kelompok yang menikmati selisih harga tersebut adalah kelompok pedagang.
Sektor pertanian di Indonesia termasuk sektor yang boleh dikatakan beresiko tinggi karena masih sangat tergantung dengan kondisi alam. Sebagian besar petani masih mengandalkan curah hujan untuk mengairi sawahnya. Perubahan kondisi cuaca yang cenderung tidak stabil akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas hasil panen padi. Bila cuaca ektrim sedang melanda, kemungkinan terburuk yang terjadi adalah gagal panen. Dengan besarnya resiko yang ditanggung oleh petani, ditambah lagi harga gabah yang relatif rendah bila dibandingkan dengan harga beras di pasar, ada potensi petani-petani itu mulai berpikir untuk menjual lahannya. Perlahan-lahan, luas lahan produksi tanaman pangan – padi khususnya – akan semakin menyusut akibat alih fungsi lahan. Pada akhirnya, penyusutan lahan produksi akan berimbas pada produksi padi secara nasional.

Lahan

Mayoritas petani di Indonesia tergolong sebagai petani gurem. Lahan produksinya relatif sangat kecil – rata-rata kurang dari 0,3 hektar – dan ditunjang dengan permodalan yang terbatas pula. Seorang petani di Jawa Barat, Entang Permana, menjelaskan bahwa modal awal per hektar sekitar 4 juta rupiah, jika hasil panen per hektar adalah 4 ton maka pendapatan dalam bentuk uang adalah 10 juta rupiah. Pendapatan setelah dipotong biaya produksi menjadi 6 juta rupiah, pendapatan itu masih harus dikurangi lagi dengan upah buruh dan lain-lain. Setelah dihitung secara keseluruhan, beliau mendapatkan keuntungan bersih Rp 5.000,00 per hari.[6]
 Usaha meningkatkan hasil produksi padi dengan cara intensifikasi pertanian akan berjalan tidak efektif. Misalnya dengan cara mekanisasi proses produksi. Rata-rata luas lahan yang dimiliki petani Indonesia sebesar kurang dari 0,3 hektar. Berdasarkan kondisi itu, penggunaan alat berteknologi tinggi untuk menggantikan tenaga kerja manusia (buruh tani) menjadi tidak efektif lagi, tidak economic of scale. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian alat, pengoperasian alat, dan perawatan alat secara berkala tidak sebanding dengan hasil produksi yang diperoleh. Harga jual gabah juga tidak mampu memberikan jaminan keberlangsungan usaha penanaman padi dapat terus berlanjut. Akibatnya, potensi penyusutan lahan produksi semakin besar akibat dari penjualan sawah yang kemudian beralih fungsi menjadi lahan pemukiman atau komersil.

Infrastruktur

Beras telah menjadi makanan pokok hampir semua masyarakat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Pada kenyataannya tidak semua daerah mampu menghasilkan beras sendiri. Sentra produksi padi terbesar masih bersumber dari Pulau Jawa. Permintaan beras di luar Pulau Jawa dipenuhi dengan cara mengirim kelebihan stok beras yang ada di Pulau Jawa melalui moda transportasi laut atau udara. Namun, menurut LIPI, biaya logistik Indonesia mencapai 25-30% dari PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia 15% dari PDB, apalagi dibandingkan dengan Jepang yang hanya 10% dari PDB.[7]
Mengurai permasalahan yang berkaitan dengan sektor pangan, khususnya beras, memang bukan perkara yang mudah. Permasalahan yang membelit sektor ini tidak hanya bersumber dari hal-hal yang bersifat teknis tetapi juga non teknis. Sehingga, tidak ada satu ‘obat’ pun yang mampu bekerja sendiri menyelesaikan carut marut sektor pangan yang rumit ini. Dalam upaya mencapai swasembada beras, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan lembaga-lembaga yang terkait dengan pertanian saja tetapi juga harus bersinergi dengan lembaga lain, misalnya lembaga pendidikan, serta menggandeng pihak swasta.
Berdasarkan uraian permasalahan sektor pertanian di atas, penulis mencoba memberikan beberapa solusi yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, beberapa solusi yang ditawarkan antara lain:
1.       Penetapan floor price yang lebih tinggi untuk pembelian gabah dari petani & ceiling price untuk beras;
2.       Membuat program untuk mendukung penghematan konsumsi nasi. Misalnya, program “Sehari Tanpa Nasi”;
3.       Meluncurkan produk-produk sumber karbohidrat atau modifikasi pengganti beras. Misalnya, beras jagung.

Selain solusi jangka pendek, penulis juga menawarkan beberapa solusi jangka panjang, antara lain:
1.       Pendidikan pengenalan berbagai ragam bahan pangan untuk anak usia dini;
2.       Membangun pelabuhan-pelabuhan baru penghubung antar pulau dan pengadaan kapal-kapal khusus pengangkut untuk menekan biaya logistik;
3.       Mengintensifkan penanaman padi di luar Pulau Jawa dengan cara membuka lahan baru dan menggunakan varietas yang mampu bertahan di daerah tersebut.

[1], [2]  http://en.wikipedia.org/wiki/Millennium_Development_Goals - diakses tgl 9 April 2015 pk 12.56

[3] http://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/award/?box=detail&id=18&from_box=list&hlm=2&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=2&presiden=suharto – diakses tgl 9 April 2015 pk 12.57 wib

[4] [6] http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2009/11/091126_rice_three.shtml - diaskes tgl 9 April 2015 pk 13.04 wib

[5] http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/19/nlgj55-pemerintah-keluarkan-inpres-kenaikan-hpp-gabahberas - diakses tgl 10 April 2015 pk 16.23 wib

[7] http://www.kemenperin.go.id/artikel/3484/mengajak-swasta-menekan-biaya-logistik - diaskes pada tgl 10 April 2015 pk 16.25 wib




 Memang saatnya Sinergi pengetahuan membangun Negara Ini



1 komentar:

hallseyjacquise mengatakan... 4 Maret 2022 pukul 13.50

Casino City Near NYC, NYC, United States - MapYRO
Find Casino City, New York, United 김제 출장샵 States, 출장안마 United States, United 제주 출장안마 States, map. The only 제천 출장샵 major casino in 이천 출장마사지 Manhattan is The Palazzo and Grand Mondial.

 
Pangan dan Pertanian © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top